Senin, 06 Mei 2013

Pengertian Qodariyah


PEMBAHASAN

I. PENGERTIAN QODARIYAH
            Qodariyah berasal dari bahasa arab, yaitu kata qodara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatanya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkanya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qodariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatanya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah dan kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, bukan dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

            Seharusnya, sebutan Qodariyah diberikan atas aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini di berikan kepada pengikut para paham Qadar oleh lawan mereka.
Para pengikut paham Qodariyah sebenarnya tidak senang disebut kaum Qodariyah. Mereka menamakan dirinya kaum Ahli Adil wat Tauhid. Adil yang mereka maksud adalah karena mereka tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak adil, kaa mereka. Yang adil adalah seperti yang menjadi pendapat mereka, yaitu bahwa manusia itu bebas dan berkuasa penuh atas segala perbuatanya, sehingga wajarlah kalau manusia menerima balasan baik atau buruk atas perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan nama mereka Ahli Tauhid, ialah karena mereka mengagap Allah itu benar-benar Esa, satu tanpa ditambah sifat apa-apa. Kalau yang berkuasa itu Dzat Allah, bukan Allah memiliki sifat, berarti bahwa Allah itu tidak Esa atau satu lagi. Apabila kalau di katakan bahwa sifat Allah itu juga Qadim, sebab jika demikian kata mereka sifat Allah itu sama dengan zat-Nya sendiri.

II. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN ALIRAN QODARIYAH

Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qodariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan Ghailhan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adlah seorang tabi’in yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun  Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman bin Affan.
            Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, Seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qodariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syuaib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai.
            Berbeda dengan Abu Zahra’, beliau mengungkapkan bahwa pada akhir masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan masa pemerintahan Bani Umayah, kaum muslimin membincangkan masalah Qada’ dan Qadar. Sebagaian mereka, yaitu penganut paham Jabariyah, memahaminya secara berlebihan yaitu, penganut paham Qodariyah, mengatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendak sendiri, bebas dari kehendak Allah. Dari sinilah paham Qodariyah terbentuk.

III. TOKOH-TOKOH ALIRAN QODARIYAH
Tokoh Utama Qodariyah adalah Ma’bad Al Junahi dan Ghailan Al-Dimasqy. Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang Qodar. Semasa hidupnya, Ma’bad Al-Junahi berguru dengan Hasan Al-Bashri, sebagaimana Washil bin Atha’, tokoh pendiri Mu’tazilah. Jadi Ma’bad Al-Junahi termasuk tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi. Sedangkan Ghailan, semula tinggal di Damasku. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya.
Kedua tokoh Qodariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-Junahi terbunuh dalam pertempuran melawan Al-Hallaj tahun 80 H. Ia terlibat dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al-Asy’at, menentang kekuasaan Bani Umayah. Sedangkan Ghailan Al-Dimasqy dihukum mati pada masa pemerintahan

Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H /724-743 M ), khalifah dinasti Umayah ke-sepuluh. Hukuman mati atas Ghailan Al-Dimasqy dilakukan karena ia terus
menyebarluaskan paham Qodariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan Al-Dimasqy gigih menyiarkan paham ini di Damaskus sehingga mendapat                  
tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Baru pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik kegiatan Ghailan Al-Dimasqy terhenti dengan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.

IV. DOKTRIN POKOK ALIRAN QODARIYAH
            Menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr Al-Islam menyatakan pokok-pokok ajaran Qodariyah :
1.      Orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi fasiq dan orang yang fasiq itu masuk neraka secara kekal. Pendapat mereka itu seperti timbul sesudah terjadi pembunuhan Khalifah Ustman, perang unta (waqa’atul jamal) antara Khalifah Ali dan Sayidah Aisyah rhum dan perang siffin antara Muawiyah dan Khalifah Ali yang menyebabkan banyak orang bertanya, “Siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu mereka bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua peristiwa peperangan itu  menjadi kafir atau tetap mukmin?”  Pertanyaan itu dijawab oleh Khawarij bahwa orang yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir. Sebaliknya kaum Murjiah mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin sedangkan aliran Qodariyah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi fasiq dan orang fasiq itu masuk neraka secara kekal.
2.      Allah SWT tidak menciptakan amal perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang menciptakan segala amal perbuatanya dan oleh karena itulah manusia akan memperoleh balasan baik(surga)  atas segala amalnya yang baik atau buruk(neraka) atas segala amal perbuatanya yang salah dan dosa. Dari sini menurut mereka Allah bisa dikatakan adil.
3.      Kaum Qodariyah mengatakan  bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah, hayat, mendengar, dan melihat yang bukan sama zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat yang menambah pada zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat qadim, qudrah,dan lainnya itu, menurut mereka sama dengan mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal Allah itu satu dan tidak bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan.
4.      Kaum Qodariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab,katanya segala sesuatu memiliki sifat yang menyebabkan baik dan buruk.



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar