PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN QODARIYAH
Qodariyah berasal dari
bahasa arab, yaitu kata qodara yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,
Qodariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatanya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkanya
atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Qodariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan
dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatanya. Dalam hal ini, Harun
Nasution menegaskan bahwa manusia mempunyai qudrah
dan kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, bukan dari pengertian bahwa
manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan.
Seharusnya, sebutan
Qodariyah diberikan atas aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus
maupun yang jahat. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini di berikan kepada pengikut
para paham Qadar oleh lawan mereka.
Para pengikut paham Qodariyah sebenarnya tidak senang disebut kaum
Qodariyah. Mereka menamakan dirinya kaum Ahli
Adil wat Tauhid. Adil yang mereka maksud adalah karena mereka tidak setuju
dengan pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak adil, kaa mereka. Yang adil
adalah seperti yang menjadi pendapat mereka, yaitu bahwa manusia itu bebas dan
berkuasa penuh atas segala perbuatanya, sehingga wajarlah kalau manusia
menerima balasan baik atau buruk atas perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan
nama mereka Ahli Tauhid, ialah karena
mereka mengagap Allah itu benar-benar Esa, satu tanpa ditambah sifat apa-apa.
Kalau yang berkuasa itu Dzat Allah, bukan Allah memiliki sifat, berarti bahwa
Allah itu tidak Esa atau satu lagi. Apabila kalau di katakan bahwa sifat Allah
itu juga Qadim, sebab jika demikian kata mereka sifat Allah itu sama dengan
zat-Nya sendiri.
II. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN ALIRAN
QODARIYAH
Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang
mengatakan bahwa Qodariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Juhani dan
Ghailhan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adlah seorang tabi’in yang dapat dipercaya dan
pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun
Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi
maula Utsman bin Affan.
Ibnu Nabatah dalam
kitabnya Syarh Al-Uyun, Seperti
dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan
paham Qodariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk
Islam dan balik lagi ke Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan
mengambil paham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad
Ibnu Syuaib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai.
Berbeda dengan Abu Zahra’,
beliau mengungkapkan bahwa pada akhir masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan
masa pemerintahan Bani Umayah, kaum muslimin membincangkan masalah Qada’ dan Qadar. Sebagaian mereka, yaitu penganut paham Jabariyah,
memahaminya secara berlebihan yaitu, penganut paham Qodariyah, mengatakan bahwa
semua perbuatan manusia adalah karena kehendak sendiri, bebas dari kehendak
Allah. Dari sinilah paham Qodariyah terbentuk.
III. TOKOH-TOKOH ALIRAN QODARIYAH
Tokoh Utama Qodariyah adalah Ma’bad Al Junahi dan Ghailan
Al-Dimasqy. Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang Qodar.
Semasa hidupnya, Ma’bad Al-Junahi berguru dengan Hasan Al-Bashri, sebagaimana
Washil bin Atha’, tokoh pendiri Mu’tazilah. Jadi Ma’bad Al-Junahi termasuk
tabi’in atau generasi kedua sesudah Nabi. Sedangkan Ghailan, semula tinggal di
Damasku. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata
dan pendapatnya.
Kedua tokoh Qodariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-Junahi terbunuh
dalam pertempuran melawan Al-Hallaj tahun 80 H. Ia terlibat dunia politik
dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al-Asy’at, menentang kekuasaan
Bani Umayah. Sedangkan Ghailan Al-Dimasqy dihukum mati pada masa pemerintahan
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H /724-743 M ), khalifah dinasti
Umayah ke-sepuluh. Hukuman mati atas Ghailan Al-Dimasqy dilakukan karena ia
terus
menyebarluaskan paham Qodariyah yang dinilai membahayakan
pemerintah. Ghailan Al-Dimasqy gigih menyiarkan paham ini di Damaskus sehingga
mendapat
tekanan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Baru pada
masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik kegiatan Ghailan Al-Dimasqy terhenti
dengan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.
IV. DOKTRIN POKOK ALIRAN QODARIYAH
Menurut Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr Al-Islam menyatakan pokok-pokok
ajaran Qodariyah :
1. Orang yang berdosa besar itu bukan
kafir dan bukan mukmin, tetapi fasiq dan orang yang fasiq itu masuk neraka
secara kekal. Pendapat mereka itu seperti timbul sesudah terjadi pembunuhan
Khalifah Ustman, perang unta (waqa’atul
jamal) antara Khalifah Ali dan Sayidah Aisyah rhum dan perang siffin antara
Muawiyah dan Khalifah Ali yang menyebabkan banyak orang bertanya, “Siapa yang
benar dan siapa yang salah, dalam semua peristiwa itu. Sesudah itu mereka
bertanya apakah yang bersalah dalam pembunuhan Utsman dan kedua peristiwa
peperangan itu menjadi kafir atau tetap
mukmin?” Pertanyaan itu dijawab oleh Khawarij bahwa orang yang melakukan dosa
besar itu menjadi kafir. Sebaliknya kaum Murjiah
mengatakan, bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mukmin sedangkan aliran
Qodariyah berpendapat bahwa orang
yang berdosa besar itu bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi fasiq dan orang
fasiq itu masuk neraka secara kekal.
2. Allah SWT tidak menciptakan amal
perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang menciptakan segala amal perbuatanya
dan oleh karena itulah manusia akan memperoleh balasan baik(surga) atas segala amalnya yang baik atau
buruk(neraka) atas segala amal perbuatanya yang salah dan dosa. Dari sini
menurut mereka Allah bisa dikatakan adil.
3. Kaum Qodariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa atau satu dalam arti
bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah, hayat,
mendengar, dan melihat yang bukan sama zat-Nya sendiri. Tidak ada sifat-sifat
yang menambah pada zat Allah. Pendapat yang mengatakan bahwa Allah memiliki
sifat-sifat qadim, qudrah,dan lainnya itu, menurut mereka sama dengan
mengatakan bahwa Allah itu lebih dari satu, padahal Allah itu satu dan tidak
bersekutu dalam segala hal dan dalam segala keadaan.
4. Kaum Qodariyah berpendapat bahwa akal
manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah
tidak menurunkan agama. Sebab,katanya segala sesuatu memiliki sifat yang
menyebabkan baik dan buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar