Selasa, 07 Mei 2013

Pengertian Hadist dan Ulumul Hadist

https://indoboclub.com/?ref=Rasyid

 Pengertian hadis dan ulumul hadis
a.     Pengertian hadis
Hadis mempunyai beberapa sinonim / muradif menurut para pakar ilmu hadis, yaitu sunnah, khabar, dan atsar. Masing – masing istilah ini nanti akan dibicarakan pada pembahasan berikut. Sekarang akan dibahas pengertian hadis, karena yang banyak disebut di tengah – tengah masyarakat islam adalah hadis. Sunnah juga sering disebut oleh sebagian masyarakat tetapi terkadang dimaksudkan makna berganda. Sebelum berbicara pengertian hadis secara terminologi terlebih dahulu dibicarakan dari segi etimologi. Kata “ hadis ” ( hadist ) berasal dari akat kata :


حَدَ ثَ  يَحْدُثُ  حُدُوْ ثَا  وَحَدَاَ ثةَ                                              

Hadis dari akar kata di atas memiliki beberapa maka, di antaranya :
1.      الْجِدَّة   ( al – jiddah = baru ), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata al – qadim = terdahulu, misalnya : الْعا لمُ  حَدِ يْثُ /  حَاِدثُ alam baru.Alam maksudnya segala sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah bersifat hadits   ( baru ), sedangkan kalam Allah bersifat qadim ( terdahulu ).
2.      الطَّرِ يُّ    ( ath – thari = lunak, lembut dan baru ). Misalnya : الرَّ جُلُ  الْحَدَ ثPemuda laki – laki. Ibnu faris mengatakan bahwa hadis dari kata ini karena berita atau kalam itu datang secara silih berganti[1] bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
3.      اْلخَبَرُ  وَالْكَلَامُ( al – khabar = berita, pembicaraan dan perkataan ), oleh karena itu ungkapan pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan periwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan :حَدَّ ثَنَا               = memberitakan kepada kami, atau sesamanya seperti mengkhabarkan kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadis di sini diartika sama dengan al – khabar dan an- naba’.
Maka etimologis ketiga di atas lebih tepat dalam kontek istilah ulumul hadis nanti, karena yang dimaksud hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi SAW, sedang makna pertama dalam konteks teologi bukan kontek ilmu hadis. Menurut Abu Al- Baqa’ hadis ( hadist ) adalah kata benda ( isim ) dari kata at- tahdist yang diartikan al- ikhbar = pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pemberitaan, yamg merupakan makna dari kata hadis sudah dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu untuk menunjuk “ Hari – hari yang populer ” dengan nama al- ahadits.[2] MenurutAl- fara al- hadits jamak ( plural ) dari kata uhdutsah kemudian dijadikan plural bagi kata hadis.
Dari segi terminologi, banyak para ahli hadis ( muhadditsin )  memberikan definisi yang berbeda redaksi tetapi maknanya sama.
            Hadist mempunyai 3 komponen yakni :
a.       Hadis perkataan yang disebut dengan hadis qawli
b.      Hadis perbuatan, disebut hadis fi’li misalnya shalatnya beliau, haji, perang dan lain – lain.
c.       Hadis persetujuan, disebut hadis taqriri, yaitu suatu perbuatan atau perkataan di anatara para sahabat yang disetujui Nabi.





b.    Pengertian ulumul hadis
Ilmu Hadis atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti, diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak. Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadits Nabi SAW”.
Pada mulanya, ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal
(241H/855M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya. [3]
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul Hadis.

2.2            Perbedaan Hadis Nabawi, Qudsi dan Al-Quran

Hadis dilihat dari sandarannya ada dua; pertama, disandarkan pada Nabi sendiri disebut Hadis Nabawi, kedua, disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Hadis qudsi perlu dimunculkan karena ternyata banyak masyarakat yang belum mengerti statusnya. Pada umumnya mereka terjebak nama qudsi itu sendiri yang diartikan suci kemudian mereka menduga bahwa semua hadis qudsi shahih. Hadis qudsi disebut juga Hadis Ilahi dan Hadis Rabbani. Dinamakan qudsi (suci), ilahi (Tuhan) dan rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang maha suci dan dinamakan hadis karena Nabi yang memberitakannya yang didasarkan dari wahyu Allah SWT. Kata qudsi, sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadis, sandaran hadis kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadis. Oleh karena itu, tidak semua hadis qudsi shahih tetapi ada yang shahih, hasan dan dha’if tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.  Definisi hadis qudsi ialah :


كُلُّ  قَوْلِ آَ ضَا فَهُ الرَّ سُوْ لُ صَلَّ اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَ اللهِ عَزَّ وَخَلَّ                                                           


Segala perkataan yang disandarkan Rasul kepada Allah SWT.
Definisi ni menjelaskan, bahwa Nabi hanya menceritakan berita yang disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan hanya berupa perkataan tidak ada perbuatan dan persetujuan sebagaimana hadis Nabi biasa. Bentuk-bentuk periwayatan hadis qusdi pada umumnya menggunakan kata-kata yang disandarkan kepada Allah, misalnya sebagai berikut :
قاَ لَ  النَّبِيَّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَال اللّهُ عَزَّ وخَضلَّ

Nabi bersabda: Allah ‘azza wajalla berfirman. . .
يَقُوْلُ النبيَّ صَلَّى ا للَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ / فِيْمَا رَو اَهُ عَنْهُ

Rasulullah bersabda pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah

رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ


Rasulullah menceritakan dari tuhannya, Dia berfirman: . . .

Contoh hadis qudsi, misalnya hadis die=riwayatkan dari Abu Dzaar:
حَدِ يثّ مُعَادِ بْنِ خَبَلٍ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبَّهِ عَزَّ وَجّلَّ يَقُولُ حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِّيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَا ذِلِيْنَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ                                           


Hadis Mu’adz  bin jabal ia berkata: Aku mendengar Rosulillah SAW  bersabda, bahwa Allah berfirman: kecintaan-Ku ( Mahabbah-Ku ) berhak bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, Kecintaan-Ku ( Mahabbah-Ku ) berhak mereka yang merendahkan hati ( Tawadhu’ ) karena aku , Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku ) berhak bagi mereka yang saling berziarah. (HR.Ahmad)
Jumlah hadis Qudsi tidak terlalu besar hanya sekitar 400 buah hadis secara terulang-ulang sanad atau sekitar 100 buah hadis lebih (ghayr mukarrar), ia tersebar dalam 7 kitab induk hadis. Mayoritas kandungan hadis qudsi tentang akhlak, aqidah, dan syariah. Diantara kitab qudsi, Al-Ahadits Al-Qudsiyah, yang diterbitkan oleh Jumhur Mesir Al-arabiyah, Wuzarah Al-Awqaf Al-majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah Lajnah as-Sunnah, Cairo 1988 dan lain-lain.

1.      Perbedaan hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Perbedaan antara hadis qudsi dan nabawi terletak pada sumber berita dan proses pemberitaanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah yang disampaikan melalui suatu wahyu sedangkan redaksinya dari nabi yang disandarkan kepada Allah. Sedangkan hadis nabawi pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad nabi sendiri. Dalam hadis qudsi rasul menjelaskan kandungan atau yang tersirat pada wahyu sebagimana yang diterima dari Allah dengan ungkapan beliau sendiri, tetapi ungkapan itu disandarkan pada nabi sendiri karena tentunya ungkapan kata itu disandarkan kepada yang mengatakannya sekalipun maknanya diterima dari orang lain. Oleh karena itu selalu disandarkan kepada Allah. Pemberitaan yang seperti ini disebut tawfiqi. Pada hadis nabawi kajian rasul melalui ijtihad yang dipahami dari Al-Quran karena beliau bertugas sebagai penjelas terhadap Al-Quran.
Kajian ini didiamkan wahyu jika benar dan dibetulakan dengan wahyu jika salah.[4] Kajian seperti inilah yang disebut dengan tawqifi.
2.      Perbedaan Hadis dan Al-Quran
Sebagian ulama mengatakan kata Alquran tidak ada akar katanya, ia merupakan nama bagi kalam Allah (‘alam murtajal). Tetapi juga ada yang berpendapat Alquran dari akar kata:  قَرَأَ يَقْرَآُ قِرَءَ ةَ وَقُرْا نَاً
Yang berarti bacaan atau yang dibaca dengan makna isim maful al-maqru. Dalam istilah para ulama banyak memberikan definisi dengan berbagai redaksi, tetapi definisi yang paling lengkap menurut penulis sebagaimana dikatakan Dr. Shubhi shalih dalam bukunya Mabahits fi Ulum Al-Quran sebagai berikut:
الكَلَام الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ االْمَنْقُوْلُ عَنْهُ
بِالتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ                                                                                 


Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi tertulis pada mushhaf, diriwayatkan secara mutawir dan yang dinilai ibadah dengan membacanya.
Dari definisi di atas secara sederhana dapat dijelaskan bahwa:
a.       Alquran adalah firman Allah, bukan sabda Nabi, bukan perkataan manusia dan bukan pula perkataan Malaikat.
b.      Alquran mengandung mukjizat seluruh kandungannya sekalipun sekecil huruf dan titiknyapun yang dapat mengalahkan lawan-lawannya.
c.       Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (tentunya melalui Malaikat Jibril) secara mutawatir (diriwayatkan banyak orang yang mustahil sepakat bohong)
d.      Membaca Alquran dinilai ibadah (membaca satu huruf dari Alquran dibalas 10 kebaikan sebagaimana keterangan dalam hadis nabi)
Dengan demikian Alquran dapat dibedakan dengan hadis dengan beberapa perbedaan sebagai berikut :
a.       Alquran mukjizat Rasul sedangkan Hadis bukan mukjizat sekalipun hadis qudsi
b.      Alquran terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan orang-orang jahil (lihat QS. Al-Hijr (15):9) sedangkan hadis tidak terpelihara seperti Alquran. Namun, hubungan keduanya secara integral tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Maka terpeliharanya Alquran berarti pula terpeliharanya hadis. Realita sejarah membuktikan adanya pemeliharaan hadis seperti usaha-usaha para perawi hadis dari masa kemasa dengan menghapal, mencatat, meriwayatkan dan mengkodifikasinya ke dalam berbagai buku-buku hadis.[5]
c.       Alquran seluruhnya diriwayatkan secara mutawir, sedangkan hadis tidak banyak diriwayatkan secara mutawir. Mayoritas hadis diriwayatkan secara ahad (individu, artinya tidak sebanyak periwayat mutawatir)
d.      Kebenaran ayat-ayat Alquran bersifat qath’i al-wurud (pasti atau mutlak kebenarannya) dan kafir mengkarinya. Sedangkan kebenaran hadis kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (relatif kebenarannya) kecuali yang mutawatir
e.       Al-qur’an redaksi (lafal) dan maknanya dari Allah dan hadis qudsi maknanya dari allah redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. sedangkan hadis nabawi berdasarkan wahyu Allah atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu, haram meriwayatkan Alquran sesuai dengan makna tanpa lafal, dan boleh periwayatan secara makna dalam hadis dengan persyaratan yang ketat.
f.       Proses penyampaian Alquran melalui wahyu yang tegas (jali) sedang hadis qudsi melalui wahyu atau ilham, dan atau dalam mimpi tidur
g.      Kewahyuan Alquran disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibacakan) sedang kewahyuan sunnah disebut wahyu ghayr matluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan yakin kemudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri
h.      Membaca Alquran dinilai sebagai ibadah setiap satu huruf pahalanya 10 kebaikan, sedangkan membaca hadis sekalipun qudsi tidak dinilai ibadah kecuali disertai dengan niat yang baru
i.        Diantara surah Alquran wajib dibaca dalam shalat seperti membaca Surah Al-Fatihah yang dibaca pada setiap rakaat. Sedangkan dalam hadis tidak harus ada yang dibaca dalam shalat sekalipun qudsi, bahkan tidak shalat seseorang yang menggantikan surah Alquran dengan hadis qudsi
j.        Haram menyentuh atau membawa mushhas Akquran menurut sebagian pendapat bagi yang berhadas baik hadas kecil maupun hadas besar (tidak bersuci)
k.      Haram menjualbelikah mushhaf Alquran menurut Imam Ahmad dan makruh menurut Imam Asy-Syafi’i.

2.3    Kehujahan hadis
Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujjahan sunnah dijadikansebagai sumber hukum islam, yaitu sebagai berikut :
1)      Dalil Al- qur’an
Banyak sekali ayat – ayat Al – qur’an yang perintah patuh kepada Rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti sunnah sebagai hujah, antara lain :
a.       Konsenkuensi iman kepada Allah adalah taat kepada – Nya, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran (3) : 179

فَئَا مِنُوأ بِاُللَهِ وَرُسُلِهِ>  وَإِن تُؤْ مِنُوآ وَتَتَّقُوآ فَلَكُمْ أَ خْرٌ عَظِيمٌ                                         
Karena itu berfirman kepada Allah dan rasul – rasul-Nya ; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang disamapaikan kepda umatnya baik Al – qur’an maupun hadis yang dibawanya.

b.      Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman kepada Allah SWT, sebagaimana dalam surah An – Nisa’ (4) : 136

Wahai orang – arang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul – Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul – Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumya.
c.       Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah Allah, sebagaimana dalam surah An- Nisa’ ( 4 ) : 64
Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melaikan untuk ditaati dengan seizin Allah.

d.      Perintah ta’at kepada Rasul bersama perintah taat kepada Allah, sebagaimana dalam surah Ali Imran (3) : 32
Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul- Nya ; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang - orang kafir.

e.       Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana dalam Surah Al – Hasyr (59) : 7
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.

2)      Dalil hadis
Hadis yang dijadikan dalil kehujahan sunnah juga banyak sekali, di antaranya sebagaimana sabda Nabi SAW :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمْسَّكُتُمْ بِحمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي                                                  


Aku tingalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnahku. ( HR. Al – Hakim dan Malik )
Hadis diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sesat selamanya apabila hidupnya berpegang teguh ayau berpedoman pada Al- qur’an dan sunnah. Orang yang tidak berpegang teguh pada keduanya atau tidak mengikuti sunnah berarti sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan diperintahkan Allah dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada Zat yang memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.
            Kehujjahan sunnah sbagai konsenkuensi ke- ma’shum-an ( terpelihara)  Nabi SAW dari sifat bohong dari segala apa yang beliau sampaikan baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya. Kebenaran Al – qur’an sebagai mukjizat disamapaikan oleh sunnah. Demikian juga kebenaran pemahaman Al- qur’an juga dijelaskan oleh sunnah dalam praktik hidup beliau. Oleh karena itu, jika sunnah tidak dapat dijadikan hujah, Al – qur’an yang sebagai efek produknya akan dipertanyakan kehujahannya.

3)      Ijma’ para Ulama
Para ulama telah sepakat ( konsenkuensi ) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dala hukum islam setelah Al – qur’an. Asy- Syafi’i ( w. 204 H ) mengatakan : “ Aku tidak mendengar seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah SWT untuk mengikuti Rasul SAW dan berserah diri atas keputusannya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan Kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar tersebut harus mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah memfardhukan kita, orang – orang sebelum dan sesudah kita dalam menerima khabar dari rasul SAW. Tidak ada seorang pun yang berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari Rasulullah SAW.”[6]
Demikian juga ulama lain, seperti As- Suyuthi ( w.911 H ) berpendapat bahwa orang yang mengingkari kehujahan hadis nabi baik perkataan dan perbuatannya yang memenuhi syarat – syarat yang jelas dalam ilmu Ushul adalah kafir, keluar dari Islam dan digiring bersama orang yahudi dan Nashrani atau bersama orang yang dikehendaki Allah dari pada kelompok orang – orang kafir.[7] Asy – Syaukani ( w. 1250 ) juga memperteghas bahwa para ulama sepakat atas kehujjahan sunnah secara mandiri sebagai sumber hukum Islam sperti Alquran dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan daan kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan keharusan ( dharuri ) dalam beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam.[8] Para ualam dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah Alquran dan dalam ber – istinbath hukum yang tidak didapati dalam Alquran.[9]
Dari berbagai pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut :
a.       Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
b.      Kehujahan sunnah adakalnya sebagai mubayyin ( penjelas ) terhadap Alquran atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum – hukum yang belum diterangkan oleh Alquran.
c.       Kehujahan sunnah berdasarkan dalil – dalil yang qath’i ( pasti ), baik dari ayat – ayat Alquran atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
d.      Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau  ahad.





[1] . Ibnu Faris, Al- Mays fi Al- lughah, hlm. 253
[2] . Shubhi Ash- Shalih, ‘Ulum Al- Hadits wa...hlm. 4.
[4] . Manna Al- Qaththan, Mabahits fi...hlm. 27.
[5] . Ada tiga dasar terpeliharanya hadis : pertama, dasar Qur’ani ( tekstual ) sebagaimana dalam QS. Al- Qiyamah ( 75 ) : 19 bahwa yang dimaksud kata bayandalam ayat ini adalah sunnah yang shahih. Kedua, dasar qiyasi dan istinbathi ( analogi dan induksi ), sebagaimana firman Allah Surah Al- Hijr ( 15 ) : 9 yang menegaskan pemeliharaan Alquran yang dijelaskan ( AL- mubayyan) oleh sunnah, berarti pemeliharaan terhadapnya sebagai penjelas ( al- mubayyin ). Ketiga, dasar waqi’i ( faktual ), realita perhatian umat Islam dulu sampai sekarang yang meriwayatkan, menghimpun, menfilter, menghapal, mempraktikkan, dan mengkodifikasikan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan beliau.
[6] . Asy – Syafi’i, Al – Umm....., hlm.250.
[7] . Jalaludin As- Suyuthi, Miftah Al- Jannah fi..., hlm. 140.
[8] . Asy- Syaukani (w. 1250 H), Irsyad Al- Fuhul....., hlm. 160- 161 dan As- Suyuthi, Miftah Al – Jannah..., hlm.140.
[9] . Asy- Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha...,hlm. 343, dan Abi Al- Abbas Ahmad bin Taimiyah, Ilm Al- Hdist..., hlm. 8, dan Muhammad Luqman As- Salafi (As- Salafi), As- Sunnah Hujjiyatuha..., hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar