https://indoboclub.com/?ref=Rasyid
Pengertian hadis
dan ulumul hadis
a. Pengertian
hadis
Hadis
mempunyai beberapa sinonim / muradif menurut
para pakar ilmu hadis, yaitu sunnah, khabar,
dan atsar. Masing – masing istilah
ini nanti akan dibicarakan pada pembahasan berikut. Sekarang akan dibahas
pengertian hadis, karena yang banyak disebut di tengah – tengah masyarakat
islam adalah hadis. Sunnah juga sering disebut oleh sebagian masyarakat tetapi
terkadang dimaksudkan makna berganda. Sebelum berbicara pengertian hadis secara
terminologi terlebih dahulu dibicarakan dari segi etimologi. Kata “ hadis ” (
hadist ) berasal dari akat kata :
حَدَ
ثَ يَحْدُثُ حُدُوْ ثَا
وَحَدَاَ ثةَ
Hadis dari akar kata di
atas memiliki beberapa maka, di antaranya :
1. الْجِدَّة ( al – jiddah = baru ), dalam arti sesuatu yang ada setelah tidak ada
atau sesuatu yang wujud setelah tidak ada, lawan dari kata al – qadim = terdahulu, misalnya : الْعا
لمُ حَدِ يْثُ / حَاِدثُ alam baru.Alam maksudnya
segala sesuatu selain Allah, baru berarti diciptakan setelah tidak ada. Makna
etimologi ini mempunyai konteks teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah
bersifat hadits ( baru ), sedangkan kalam Allah bersifat qadim ( terdahulu ).
2. الطَّرِ
يُّ ( ath
– thari = lunak, lembut dan baru ). Misalnya : الرَّ
جُلُ الْحَدَ ثPemuda laki – laki. Ibnu faris
mengatakan bahwa hadis dari kata ini karena berita atau kalam itu datang secara
silih berganti[1]
bagaikan perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.
3. اْلخَبَرُ وَالْكَلَامُ( al – khabar = berita, pembicaraan dan perkataan ), oleh karena itu ungkapan
pemberitaan hadis yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan
periwayatan jika bersambung sanadnya selalu menggunakan ungkapan :حَدَّ ثَنَا = memberitakan kepada kami, atau sesamanya seperti mengkhabarkan kepada kami, dan
menceritakan kepada kami. Hadis di sini diartika sama dengan al – khabar dan an- naba’.
Maka
etimologis ketiga di atas lebih tepat dalam kontek istilah ulumul hadis nanti,
karena yang dimaksud hadis di sini adalah berita yang datang dari Nabi SAW,
sedang makna pertama dalam konteks teologi bukan kontek ilmu hadis. Menurut Abu
Al- Baqa’ hadis ( hadist ) adalah
kata benda ( isim ) dari kata at-
tahdist yang diartikan al- ikhbar =
pemberitaan, kemudian menjadi termin nama suatu perkataan, perbuatan, dan
persetujuan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Pemberitaan, yamg
merupakan makna dari kata hadis sudah dikenal orang Arab sejak Jahiliyah yaitu
untuk menunjuk “ Hari – hari yang populer ” dengan nama al- ahadits.[2]
MenurutAl- fara al- hadits jamak (
plural ) dari kata uhdutsah kemudian
dijadikan plural bagi kata hadis.
Dari
segi terminologi, banyak para ahli hadis ( muhadditsin
) memberikan definisi yang berbeda
redaksi tetapi maknanya sama.
Hadist mempunyai 3 komponen yakni :
a.
Hadis perkataan yang disebut dengan
hadis qawli
b.
Hadis perbuatan, disebut hadis fi’li misalnya shalatnya beliau, haji,
perang dan lain – lain.
c.
Hadis persetujuan, disebut hadis taqriri, yaitu suatu perbuatan atau
perkataan di anatara para sahabat yang disetujui Nabi.
b. Pengertian
ulumul hadis
Ilmu Hadis
atau yang sering diistilahkan dalam bahasa Arab dengan Ulumul Hadis yang
mengandung dua kata, yaitu ‘ulum’ dan ‘al-Hadis’. Kata ulum dalam
bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu,
sedangkan al-Hadis dari segi bahasa mengandung beberapa arti,
diantaranya baru, sesuatu yang dibicarakan, sesuatu yang sedikit dan banyak.
Sedangkan menurut istilah Ulama Hadits adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi
SAW baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik
sebelum kenabian atau sesudahnya”. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh, hadis
adalah: “perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah
SAW setelah kenabian.” Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadis, karena
yang dimaksud dengan hadis adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya.
Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian.
Adapun gabungan kata ulum dan al-Hadis ini melahirkan
istilah yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu Ulumul
Hadis yang memiliki pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan
dengan Hadits Nabi SAW”.
Pada mulanya, ilmu hadis memang
merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara
tentang Hadis Nabi SAW dan para perawinya, sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih,
Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Penulisan
ilmu-ilmu hadis secara parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3
H. Umpamanya, Yahya ibn Ma’in (234H/848M) menulis Tarikh al-Rijal, Muhammad
ibn Sa’ad (230H/844) menulis Al—Tabaqat, Ahmad ibn Hanbal
(241H/855M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Nasikh
wal Mansukh, serta banyak lagi yang lainnya. [3]
Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat
parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan
tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu
yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya
dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang
sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama
Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak
Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad
atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan
makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah)
menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalahMusthalahul
Hadis.
2.2
Perbedaan Hadis Nabawi, Qudsi dan Al-Quran
Hadis dilihat dari sandarannya ada
dua; pertama, disandarkan pada Nabi
sendiri disebut Hadis Nabawi, kedua,
disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadis Qudsi. Hadis qudsi perlu
dimunculkan karena ternyata banyak masyarakat yang belum mengerti statusnya.
Pada umumnya mereka terjebak nama qudsi itu sendiri yang diartikan suci
kemudian mereka menduga bahwa semua hadis qudsi shahih. Hadis qudsi disebut
juga Hadis Ilahi dan Hadis Rabbani. Dinamakan qudsi (suci), ilahi (Tuhan) dan rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang maha suci
dan dinamakan hadis karena Nabi yang memberitakannya yang didasarkan dari wahyu
Allah SWT. Kata qudsi, sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi
hadis, sandaran hadis kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadis. Oleh
karena itu, tidak semua hadis qudsi shahih tetapi ada yang shahih, hasan dan
dha’if tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan. Definisi hadis qudsi
ialah :
كُلُّ قَوْلِ آَ ضَا فَهُ الرَّ سُوْ لُ صَلَّ اللَهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَ اللهِ عَزَّ وَخَلَّ
Segala
perkataan yang disandarkan Rasul kepada Allah SWT.
Definisi ni menjelaskan, bahwa Nabi hanya menceritakan
berita yang disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan hanya
berupa perkataan tidak ada perbuatan dan persetujuan sebagaimana hadis Nabi
biasa. Bentuk-bentuk periwayatan hadis qusdi pada umumnya menggunakan kata-kata
yang disandarkan kepada Allah, misalnya sebagai berikut :
قاَ لَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَال اللّهُ عَزَّ وخَضلَّ
Nabi bersabda: Allah ‘azza wajalla berfirman. . .
يَقُوْلُ النبيَّ صَلَّى ا للَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ / فِيْمَا رَو اَهُ عَنْهُ
Rasulullah bersabda pada apa yang beliau riwayatkan dari Allah
رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ
Rasulullah menceritakan dari tuhannya, Dia berfirman:
. . .
Contoh hadis qudsi, misalnya hadis die=riwayatkan dari
Abu Dzaar:
حَدِ يثّ مُعَادِ بْنِ خَبَلٍ فَقَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبَّهِ عَزَّ وَجّلَّ يَقُولُ حَقَّتْ
مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِّيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَبَا ذِلِيْنَ
فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ
Hadis Mu’adz
bin jabal ia berkata: Aku mendengar Rosulillah SAW bersabda, bahwa Allah berfirman: kecintaan-Ku
( Mahabbah-Ku ) berhak bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, Kecintaan-Ku
( Mahabbah-Ku ) berhak mereka yang merendahkan hati ( Tawadhu’ ) karena aku ,
Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku ) berhak bagi mereka yang saling berziarah. (HR.Ahmad)
Jumlah hadis Qudsi tidak terlalu besar hanya sekitar
400 buah hadis secara terulang-ulang sanad atau sekitar 100 buah hadis lebih
(ghayr mukarrar), ia tersebar dalam 7 kitab induk hadis. Mayoritas kandungan
hadis qudsi tentang akhlak, aqidah, dan syariah. Diantara kitab qudsi,
Al-Ahadits Al-Qudsiyah, yang diterbitkan oleh Jumhur Mesir Al-arabiyah, Wuzarah
Al-Awqaf Al-majlis Al-A’la li Syu’un Al-Islamiyah Lajnah as-Sunnah, Cairo 1988
dan lain-lain.
1. Perbedaan
hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Perbedaan
antara hadis qudsi dan nabawi terletak pada sumber berita dan proses
pemberitaanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah yang disampaikan melalui suatu
wahyu sedangkan redaksinya dari nabi yang disandarkan kepada Allah. Sedangkan
hadis nabawi pemberitaan makna dan redaksinya berdasarkan ijtihad nabi sendiri.
Dalam hadis qudsi rasul menjelaskan kandungan atau yang tersirat pada wahyu
sebagimana yang diterima dari Allah dengan ungkapan beliau sendiri, tetapi
ungkapan itu disandarkan pada nabi sendiri karena tentunya ungkapan kata itu
disandarkan kepada yang mengatakannya sekalipun maknanya diterima dari orang
lain. Oleh karena itu selalu disandarkan kepada Allah. Pemberitaan yang seperti
ini disebut tawfiqi. Pada hadis
nabawi kajian rasul melalui ijtihad yang dipahami dari Al-Quran karena beliau
bertugas sebagai penjelas terhadap Al-Quran.
Kajian ini
didiamkan wahyu jika benar dan dibetulakan dengan wahyu jika salah.[4]
Kajian seperti inilah yang disebut dengan tawqifi.
2. Perbedaan
Hadis dan Al-Quran
Sebagian
ulama mengatakan kata Alquran tidak ada akar katanya, ia merupakan nama bagi
kalam Allah (‘alam murtajal). Tetapi juga ada yang berpendapat Alquran dari
akar kata: قَرَأَ يَقْرَآُ قِرَءَ ةَ وَقُرْا نَاً
Yang berarti
bacaan atau yang dibaca dengan makna isim maful al-maqru. Dalam istilah para
ulama banyak memberikan definisi dengan berbagai redaksi, tetapi definisi yang
paling lengkap menurut penulis sebagaimana dikatakan Dr. Shubhi shalih dalam
bukunya Mabahits fi Ulum Al-Quran sebagai berikut:
الكَلَام
الْمُعْجِزُ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ االْمَنْقُوْلُ عَنْهُ
بِالتَّوَاتُرِ
الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Kalam Allah
yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi tertulis pada mushhaf,
diriwayatkan secara mutawir dan yang dinilai ibadah dengan membacanya.
Dari
definisi di atas secara sederhana dapat dijelaskan bahwa:
a.
Alquran adalah firman Allah, bukan sabda Nabi, bukan
perkataan manusia dan bukan pula perkataan Malaikat.
b.
Alquran mengandung mukjizat seluruh kandungannya
sekalipun sekecil huruf dan titiknyapun yang dapat mengalahkan lawan-lawannya.
c.
Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (tentunya
melalui Malaikat Jibril) secara mutawatir (diriwayatkan banyak orang yang
mustahil sepakat bohong)
d.
Membaca Alquran dinilai ibadah (membaca satu huruf
dari Alquran dibalas 10 kebaikan sebagaimana keterangan dalam hadis nabi)
Dengan
demikian Alquran dapat dibedakan dengan hadis dengan beberapa perbedaan sebagai
berikut :
a.
Alquran mukjizat Rasul sedangkan Hadis bukan mukjizat
sekalipun hadis qudsi
b.
Alquran terpelihara dari berbagai kekurangan dan
pendistorsian tangan orang-orang jahil (lihat QS. Al-Hijr (15):9) sedangkan
hadis tidak terpelihara seperti Alquran. Namun, hubungan keduanya secara
integral tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Maka
terpeliharanya Alquran berarti pula terpeliharanya hadis. Realita sejarah
membuktikan adanya pemeliharaan hadis seperti usaha-usaha para perawi hadis
dari masa kemasa dengan menghapal, mencatat, meriwayatkan dan mengkodifikasinya
ke dalam berbagai buku-buku hadis.[5]
c.
Alquran seluruhnya diriwayatkan secara mutawir,
sedangkan hadis tidak banyak diriwayatkan secara mutawir. Mayoritas hadis
diriwayatkan secara ahad (individu, artinya tidak sebanyak periwayat mutawatir)
d.
Kebenaran ayat-ayat Alquran bersifat qath’i al-wurud (pasti atau mutlak
kebenarannya) dan kafir mengkarinya. Sedangkan kebenaran hadis kebanyakan
bersifat zhanni al-wurud (relatif
kebenarannya) kecuali yang mutawatir
e.
Al-qur’an redaksi (lafal) dan maknanya dari Allah dan
hadis qudsi maknanya dari allah redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan
maknanya. sedangkan hadis nabawi berdasarkan wahyu Allah atau ijtihad yang
sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu, haram meriwayatkan Alquran sesuai dengan
makna tanpa lafal, dan boleh periwayatan secara makna dalam hadis dengan
persyaratan yang ketat.
f.
Proses penyampaian Alquran melalui wahyu yang tegas
(jali) sedang hadis qudsi melalui wahyu atau ilham, dan atau dalam mimpi tidur
g.
Kewahyuan Alquran disebut dengan wahyu matluw (wahyu yang dibacakan) sedang
kewahyuan sunnah disebut wahyu ghayr
matluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara
jelas dan yakin kemudian diungkapkan Nabi dengan redaksinya sendiri
h.
Membaca Alquran dinilai sebagai ibadah setiap satu
huruf pahalanya 10 kebaikan, sedangkan membaca hadis sekalipun qudsi tidak
dinilai ibadah kecuali disertai dengan niat yang baru
i.
Diantara surah Alquran wajib dibaca dalam shalat
seperti membaca Surah Al-Fatihah yang dibaca pada setiap rakaat. Sedangkan
dalam hadis tidak harus ada yang dibaca dalam shalat sekalipun qudsi, bahkan
tidak shalat seseorang yang menggantikan surah Alquran dengan hadis qudsi
j.
Haram menyentuh atau membawa mushhas Akquran menurut sebagian
pendapat bagi yang berhadas baik hadas kecil maupun hadas besar (tidak bersuci)
k.
Haram menjualbelikah mushhaf Alquran menurut Imam
Ahmad dan makruh menurut Imam Asy-Syafi’i.
2.3
Kehujahan hadis
Ada beberapa
dalil yang menunjukkan atas kehujjahan sunnah dijadikansebagai sumber hukum
islam, yaitu sebagai berikut :
1) Dalil Al-
qur’an
Banyak
sekali ayat – ayat Al – qur’an yang perintah patuh kepada Rasul dan mengikuti
sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah mengikuti sunnah
sebagai hujah, antara lain :
a.
Konsenkuensi iman kepada Allah adalah taat kepada –
Nya, sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran (3) : 179
فَئَا مِنُوأ بِاُللَهِ
وَرُسُلِهِ> وَإِن تُؤْ مِنُوآ
وَتَتَّقُوآ فَلَكُمْ أَ خْرٌ عَظِيمٌ
Karena itu berfirman kepada Allah dan rasul –
rasul-Nya ; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.
Beriman kepada Rasul berarti taat kepada apa yang
disamapaikan kepda umatnya baik Al – qur’an maupun hadis yang dibawanya.
b.
Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan
beriman kepada Allah SWT, sebagaimana dalam surah An – Nisa’ (4) : 136
Wahai orang
– arang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul – Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul – Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumya.
c.
Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah
Allah, sebagaimana dalam surah An- Nisa’ ( 4 ) : 64
Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melaikan untuk
ditaati dengan seizin Allah.
d.
Perintah ta’at kepada Rasul bersama perintah taat
kepada Allah, sebagaimana dalam surah Ali Imran (3) : 32
Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul- Nya ; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang - orang kafir.
e.
Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana
dalam Surah Al – Hasyr (59) : 7
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.
2) Dalil hadis
Hadis yang dijadikan dalil kehujahan sunnah juga
banyak sekali, di antaranya sebagaimana sabda Nabi SAW :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ
تَضِلُّوْا مَا تَمْسَّكُتُمْ بِحمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي
Aku tingalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak
akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan
sunnahku. ( HR. Al – Hakim dan Malik )
Hadis diatas menjelaskan bahwa seseorang tidak akan
sesat selamanya apabila hidupnya berpegang teguh ayau berpedoman pada Al-
qur’an dan sunnah. Orang yang tidak berpegang teguh pada keduanya atau tidak
mengikuti sunnah berarti sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan kecuali dengan
diperintahkan Allah dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada Zat
yang memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.
Kehujjahan
sunnah sbagai konsenkuensi ke- ma’shum-an ( terpelihara) Nabi SAW dari sifat bohong dari segala apa
yang beliau sampaikan baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya.
Kebenaran Al – qur’an sebagai mukjizat disamapaikan oleh sunnah. Demikian juga
kebenaran pemahaman Al- qur’an juga dijelaskan oleh sunnah dalam praktik hidup
beliau. Oleh karena itu, jika sunnah tidak dapat dijadikan hujah, Al – qur’an
yang sebagai efek produknya akan dipertanyakan kehujahannya.
3) Ijma’ para
Ulama
Para ulama telah sepakat (
konsenkuensi ) bahwa sunnah sebagai salah satu hujah dala hukum islam setelah
Al – qur’an. Asy- Syafi’i ( w. 204 H ) mengatakan : “ Aku tidak mendengar seseorang
yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi
kewajiban Allah SWT untuk mengikuti Rasul SAW dan berserah diri atas
keputusannya. Allah tidak menjadikan orang setelahnya kecuali agar
mengikutinya. Tidak ada perkataan dalam segala kondisi kecuali berdasarkan
Kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya. Dasar lain selain dua dasar tersebut harus
mengikutinya. Sesungguhnya Allah telah memfardhukan kita, orang – orang sebelum
dan sesudah kita dalam menerima khabar dari rasul SAW. Tidak ada seorang pun
yang berbeda bahwa yang fardhu dan yang wajib adalah menerima khabar dari
Rasulullah SAW.”[6]
Demikian juga ulama lain, seperti
As- Suyuthi ( w.911 H ) berpendapat bahwa orang yang mengingkari kehujahan
hadis nabi baik perkataan dan perbuatannya yang memenuhi syarat – syarat yang
jelas dalam ilmu Ushul adalah kafir, keluar dari Islam dan digiring
bersama orang yahudi dan Nashrani atau bersama orang yang dikehendaki Allah
dari pada kelompok orang – orang kafir.[7]
Asy – Syaukani ( w. 1250 ) juga memperteghas bahwa para ulama sepakat atas
kehujjahan sunnah secara mandiri sebagai sumber hukum Islam sperti Alquran
dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram. Kehujahan daan
kemandiriannya sebagai sumber hukum Islam merupakan keharusan ( dharuri ) dalam
beragama. Orang yang menyalahinya tidak ada bagian dalam beragama Islam.[8]
Para ualam dahulu dan sekarang sepakat bahwa sunnah menjadi dasar kedua setelah
Alquran dan dalam ber – istinbath hukum yang tidak didapati dalam
Alquran.[9]
Dari berbagai pendapat di atas
kiranya dapat disimpulkan bahwa sebagai berikut :
a.
Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua
umat Islam menerima dan mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
b.
Kehujahan sunnah adakalnya sebagai mubayyin (
penjelas ) terhadap Alquran atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah
hukum – hukum yang belum diterangkan oleh Alquran.
c.
Kehujahan sunnah berdasarkan dalil – dalil yang qath’i
( pasti ), baik dari ayat – ayat Alquran atau hadis Nabi dan atau rasio
yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
d.
Sunnah yang dijadikan hujah tentunya sunnah yang telah
memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.
[1] . Ibnu
Faris, Al- Mays fi Al- lughah, hlm. 253
[2] . Shubhi
Ash- Shalih, ‘Ulum Al- Hadits wa...hlm. 4.
[4] . Manna
Al- Qaththan, Mabahits fi...hlm. 27.
[5] . Ada
tiga dasar terpeliharanya hadis : pertama, dasar Qur’ani ( tekstual )
sebagaimana dalam QS. Al- Qiyamah ( 75 ) : 19 bahwa yang dimaksud kata bayandalam
ayat ini adalah sunnah yang shahih. Kedua, dasar qiyasi dan istinbathi
( analogi dan induksi ), sebagaimana firman Allah Surah Al- Hijr ( 15 ) : 9
yang menegaskan pemeliharaan Alquran yang dijelaskan ( AL- mubayyan) oleh
sunnah, berarti pemeliharaan terhadapnya sebagai penjelas ( al- mubayyin ).
Ketiga, dasar waqi’i ( faktual ), realita perhatian umat Islam dulu
sampai sekarang yang meriwayatkan, menghimpun, menfilter, menghapal,
mempraktikkan, dan mengkodifikasikan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW
baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan beliau.
[6] . Asy –
Syafi’i, Al – Umm....., hlm.250.
[7] .
Jalaludin As- Suyuthi, Miftah Al- Jannah fi..., hlm. 140.
[8] . Asy-
Syaukani (w. 1250 H), Irsyad Al- Fuhul....., hlm. 160- 161 dan As-
Suyuthi, Miftah Al – Jannah..., hlm.140.
[9] . Asy-
Siba’i, As-Sunnah wa Makanatuha...,hlm. 343, dan Abi Al- Abbas Ahmad bin
Taimiyah, Ilm Al- Hdist..., hlm. 8, dan Muhammad Luqman As- Salafi (As-
Salafi), As- Sunnah Hujjiyatuha..., hlm. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar